Fatwa adalah suatu jawaban dalam suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam masyarakat). Menurut Imam Zamahsyari dalam bukunya “al-kasyaf” pengertian fatwa adalah suatu jalan yang lapang/lurus. Dalam bahasa arab al-fatwa; jamaknya fatâwa artinya petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang bertalian dengan hukum Islam. Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa itu berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fiqih (mufti) sebagai jawaban atas permintaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat, maksudnya adalah pihak yang meminta fatwa tersebut baik pribadi, lembaga, maupun kelompok, masyarakat , tidak mesti harus mengikuti fatwa tersebut, karena fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Sedangkan fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas/terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat banyak.
Dari hal di atas dapat digambarkan bahwa fatwa adalah sebuah pendapat atau nasehat dari seorang mujtahid atau mufti, sebagai jawaban atas pertanyaan dan permintaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) terhadap suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Dalam memberikan fatwa, para ulama melakukan langkah secara kolektif, melakukan musyawarah untuk menyoroti permasalahan yang dipertanyakan oleh peminta fatwa (mustafti) dan kemudian akan ditetapkan sebuah hukum secara bersama-sama, dan tidak dilakukan secara individual.
Berdasarkan sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum nasional, yakni dalam sistem hukum nasional secara formal terdapat lima sumber hukum, adapun sumber hukum tersebut sebagai berrikuti: undang-undang, kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi), traktat, serta doktrin (pendapat pakar pakar/ahli hukum). Kemudian untuk dapat mengetahui tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka bisa dilihat dalam Undang-undang no 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-undangan, tepatnya dalam Pasal 7 yaitu hierarki perundang-undangan. Sumber hukum positif dalam sistem hukum nasional di atas dan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang peraturan perundangundangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang disampaikan oleh para ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu wadah organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga lainnya. Sehingga fatwa dapat dikorelasikan dengan sumber hukum formal dalam sistem hukum nasional, yakni kedudukan fatwa sama dengan doktrin yang merupakan pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang hukum positif. Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli hukum) banyak mempengaruhi pelaksanaan administrasi Negara, demikian juga dalam proses pengadilan. Seorang hakim diperkenankan menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara, kemudian bagi seorang pengacara/pembela yang sedang melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata, seringkali mengutip pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya. Begitu pula dengan fatwa, dalam sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa, menangani, dan memutus perkara perdata (masalah kekeluargaan, kewarisan, perceraian, dan lain sebagainya), maka Pengadilan Agama memakai fatwa sebagai landasan hukum, yakni fatwa disepakati oleh Mahkamah Agung bersama Pengadilan Agama. Kemudian sebagai contoh bahwa fatwa juga telah digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perdata yakni pada undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka dari itu produk fatwa MUI dijadikan sebagai dasar untuk memutus sebelum ada undang-undang tentang ekonomi syari’ah, misalnya fatwa MUI no 21 tahun 2001 tentang pedoman umum asuransi syari’ah, fatwa MUI no 3 tahun 2003 tentang zakat penghasilan, dan fatwa-fatwa lain tentang ekonomi yang berbasis syari’ah.
Seorang hakim juga menggunakan INPRES no. 1 tahun 1991 yang sering disebut sebagai KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai dasar hukum, padahal dalam sejarah menyebutkan bahwa KHI merupakan hasil ijtihâd ulama imam mahzab, yakni mahzab Syafi’i, hal ini menyebutkan bahwa ijtihâd ulama sebagai sebuah fatwa telah mewarnai keberadaan hukum di Indonesia. Fatwa sebagai pendapat ahli dalam hukum Islam dan doktrin sebagai pendapat ahli dalam hukum positif dapat dipakai sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara perdata, namun tidak semua produk fatwa maupun doktrin dipakai oleh hakim, akan tetapi sebagian kecil saja dari fatwa ulama maupun doktrin (pendapat ahli hukum positif). Selain itu, fatwa juga mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan doktrin. perbedaan antara fatwa dan doktrin yakni pertama, dilihat dari objek yang menjadi focus pembahasan, pada fatwa yang menjadi focus pembahasan adalah berkenaan dengan persoalan agama, khususnya permasalahan hukum Islam. Sedangkan doktrin yang menjadi focus pembahasan adalah permasalahan dalam hukum positif. Kedua, dari segi waktunya fatwa berlaku saat ini juga, sejak fatwa tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang bersangkutan, sedangkan doktrin berlaku kemudian setelah doktrin tersebut dikeluarkan oleh para pakar dan kadangkala juga harus diuji terlebih dahulu untuk dapat dipakai dan diberlakukan. Ketiga, fatwa dapat disampaikan secara individual dan secara kolektif, akan tetapi untuk saat ini seringkali disampaikan secara secara kolektif, sedangkan doktrin biasanya dikeluarkan oleh seorang ahli atau seorang pakar hukum.
Sehubungan dengan kedudukan fatwa, maka dapat dipersamakan dengan doktrin, dan sudah barang tentu kekuatan dari fatwa itu tidak mutlak dan tidak mengikat sebagaimana berlaku pada ketentuan sebuah undang-undang ataupun putusan hakim yang sifatnya mengikat, sehingga fatwa tersebut tidak harus diikuti baik oleh pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat, karena jelas fatwa tidak mempunyai daya ikat yang mutlak. Hal ini juga berlaku pada doktrin, doktrin tidak memiliki daya ikat. Berlakunya sebuah doktrin tergantung pada kewibawaan dari doktrin tersebut, manakala doktrin tersebut sesuai dengan nila-inilai dan keyakinan yang ada dalam masyarakat, maka masyarakat akan melaksanakan isi doktrin dan begitu juga sebaliknya, jika doktrin tidak sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan masyarakat, maka masyarakat akan cenderung meninggalkan melaksanakan doktrin tersebut. Doktrin baru akan berlaku mengikat apabila telah diatur dalam peraturan perundangundangan, seperti contoh doktrin Pancasila.
NB : Ini adalah bentuk kebingungan gue terhadap kedudukan fatwa dalam hukum positif di Indonesia dan Tulisan ini adalah copypaste dengan sedikit perbaikan 🙂 🙂