Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Cyber Crime

0

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih modern, karena penggunaan teknologi selalu mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Suatu teknologi pada dasarnya diciptakan untuk peningkatan kualitas hidup dan mempermudah aktivitas manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki sisi positif, teknologi juga memiliki sisi negatif. Bahkan dalam berbagai kajian penelitian, kemajuan teknologi menunjukkan korelasi yang positif terhadap meningkatnya angka kriminalitas, misalnya dalam penggunaan komputer. Sikapketergantungan, keteledoran, kekurangpahaman atau kesengajaan dalam menggunakan komputer akan menimbulkan dampak negatif, bilamana tidak diimbangi dengan sikap mental dan sikap tindak positif.
Salah satu hasil kemajuan teknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah Internet. Teknologi internet membawa manusia pada peradaban baru, dimana terjadi perpindahan realitas kehidupan dari aktivitas nyata ke aktivitas maya (virtual) yang disebut dengan istilah cyberspace. Perkembangan teknologi informasi tidak saja mampu menciptakan dunia global, namun juga telah mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat, yaitu kehidupan masyarakat maya (cybercommunity). Cybercommunity adalah sebuah kehidupan masyarakat manusia yang tidak dapat secara langsung diindera melalui penginderaan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas. Dalam masyarakat maya, metode kehidupannya tidaklah jauh berbeda dengan kehidupan nyata, ada proses sosial, interaksi sosial, kontrol sosial, komunikasi, membangun kebudayaan, bahkan pengembangan sistem kejahatan dan lain-lain.
Internet memberikan berbagai kemudahan dalam banyak aspek kehidupan manusia karena telah mengubah jarak dan waktu menjadi tanpa batas. Adanya fasilitas chatting, e-mail dan web-cam merupakan solusi dari permasalahan komunikasi jarak jauh yang selama ini menggunakan telepon dengan biaya tinggi. Sementara bagi masyarakat pendidikan, internet merupakan perpustakaan dunia yang paling lengkap dan sebagai upaya pengembangan E-Learning. Sedangkan bagi dunia Perbankkan, dunia maya dimanfaatkan untuk memberikan kemudahan transaksi bagi para nasabahnya tanpa harus pergi ke bank. Begitupula dalam perkembangan kehidupan demokrasi, dimana opini, kritik dan saran dapat disampaikan pada bagian diskusi atau komentar yang tersedia pada setiap situs lembaga pemerintahan pusat maupun daerah, tanpa harus mengikuti demonstrasi.
Kemudahan-kemudahan ini merupakan sisi positif dari penggunaan dan pemanfaatan internet. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua aktivitas di internet selalu bermuatan positif, tetapi internet juga memiliki sisinegatif, yaitu dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan. Perkembangan teknologi senantiasa membawa dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam artian positif maupun negatif dan akan sangat berpengaruh terhadap setiap sikap tindak dan sikap mental setiap anggota masyarakat. Teknologi dikenal berwajah ganda, disatu sisi memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan sebagai pertanda kemajuan\ masyarakat, namun di sisi lain juga dapat memberikan kemudahan bahkan memperluas tindak kejahatan secara global.
Sama halnya dengan di dunia nyata, di dunia maya juga ada tangantangan kriminal yang melakukan kejahatan, seperti pencurian dan penggunaan account milik orang lain secara ilegal, pembobolan PIN ATM dan rekeningbank, mencuri data web pemerintah, membajak situs web suatu perusahaan, pelanggaran norma-norma kesusilaan, hacker, pembuat dan penyebar virus dan lain-lain. Berdasarkan survei AC Nielson 2001, Indonesia menempati posisi keenam terbesar di dunia atau keempat di Asia dalam tindakan kejahatan internet. Data survei ini menunjukkan bahwa saat ini di dalam masyarakat ada penjahat-penjahat online yang harus diwaspadai.
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sering diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex. Permasalahan ini juga mendapat perhatian serius dari dunia internasional, yaitu dengan adanya The first World Congress Against Commercial SexualExploitation of Children, Stockholm, 27 – 31 Agustus 1996 dan International Conference on “Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna, Hofburg, pada tanggal 29 September – 1 Oktober 199916. Dalam situs http://www.computeruser.com, cyberporn didefinisikan sebagai “materi pornografi yang tersedia online” (“Pornographic material available online”.
Penyebaran pornografi di internet atau dikenal dengan istilah cyberporn juga menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara berkembang yang juga memanfaatkan perkembangan teknologi global ini. Selain situs porno impor, situs porno lokal juga sudah mulai menjamur di dunia maya, seperti situs indonesiasex, lalatx dan surgadunia. Situs-situs ini ada yang gratis dan ada pula yang bersifat komersial.
Internet sebagai media non sensor yang online 24 jam dengan muatan pornografi, akan berdampak buruk bagi perilaku anak-anak dan remaja yang mengkonsumsinya. Berdasarkan teori imitasi, media bisa membuat penontonnya melakukan peniruan seperti apa yang disajikan, maka anak-anak atau remaja yang belum bisa menganalisis apa itu baik dan buruk melalui pikirannya, akan cenderung mengimitasi dan mencoba apa yang baru dilihatnya. Akibatnya terjadilah penyimpangan seksual, seperti onani karena tidak ada tempat penyaluran atau bahkan dapat terjadi hubungan seksual sebelum menikah dan kehamilan di luar nikah. Berdasarkan data BKKBN pada 6 kota di Jawa Barat tahun 2002, dari 2.880 remaja berusia 15-24 tahun yang disurvei, sedikitnya 40 % mengaku pernah berhubungan seks sebelum menikah. Selain dapat menyebabkan penyimpangan seksual, cyberporn juga dapat mengganggu perkembangan pribadi, seperti suka berfantasi atau berkhayal seksual, malas bekerja, suka berbohong, dan sampai pada kehilangan orientasi masa depan.
Merebaknya situs porno di internet baik lokal maupun impor dan dampak negatifnya yang berbahaya serta masih lemahnya kebijakan hukum pidana saat ini, menunjukkan perlu adanya suatu kebijakan umum dalam upaya penanggulangannya. Dilihat dari sudut criminal policy, upayapenanggulangan kejahatan (termasuk cyber crime) harus dilakukan dengan pendekatan integral/sistemik, yaitu pendekatan penal (hukum pidana), pendekatan teknologi (techno prevention) karena cyber crime sebagai salah satu bentuk dari hitech crime, pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif (terlebih delik kesusilaan) dan pendekatan global/kerjasama internasional.
Dalam pendekatan sarana penal atau kebijakan hukum pidana, maka harus ada kebijakan formulasi dalam upaya penanggulangan cyberporn yang lebih efektif dan bersifat preventif. Mengingat pornografi bukan hanya menyangkut permasalahan moral, budaya dan HAM, tetapi juga masalah ekonomi-bisnis, hiburan (entertainment) dan politik. Oleh karena itu dalam kebijakan formulasi cyberporn harus pula dapat menangkal dampak negatif dari multiproblem tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi didefinisikan sebagai berikut :

  1. penggambaran tingkahlaku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
  2. bahan bacaan yang dengan sengaja semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi atau seksi

Dalam KUHP , tidak digunakan istilah pornografi, tetapi hanya dirumuskan sebagai berikut :

  1. Tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 282-283).
  2. Tulisan, gambar atau benda yang mampu membangkitkan atau merangsang nafsu birahi (Pasal 532-533).

Internet merupakan media baru di Indonesia yang tidak dapat dihindari kehadirannya, karena internet merupakan sumber informasi dan memberikan kemudahan dalam beraktivitas, seperti adanya E-mail, E-goverment, Elearning, E-Banking dan lain-lain. Namun selain sisi positif tersebut, internet juga memiliki sisi negatif, salah satunya adalah sebagai media penyebaran pornografi yang dikenal dengan istilah cyberporn. Internet merupakan media yang strategis bagi industri pornografi, karena mudah dalam penyebarannya.

Tindak pidana pornografi dalam pasal 282 ayat (3) merumuskan jika melakukan kejahatan pada ayat (1) sebagai pencarian atau kebiasaan. Sanksi pidana dalam ayat (3) ini mengandung unsur pemberatan pidana, sebagai konsekuensi menjadikan kejahatan ayat (1) sebagai pencaharian atau kebiasaan.

Cyberporn merupakan bentuk kejahatan yang harus segera ditanggulangi untukmenghindari dampak negatifnya yang luas dan berbahaya. Ada beberapakebijakan hukum pidana yang saat ini berlaku sebagai upayapenanggulangan cyberporn, diantaranya adalah Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentangPerfilman, Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentangTelekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Beberapa kebijakan hukum pidana ini akan dianalisis dari sistem perumusan tindak pidana, sistem pertanggungjawaban pidana, sistem perumusan sanksi pidana dan pedoman pemidanaannya. Pembahasan ini sangat diperlukan untuk dapat melihat apakah cyberporn dapat ditanggulangi dengan kebijakan hukum pidana tersebut, mengingat penyebaran pornografi ini menggunakan media teknologi informasi dan bersifat transnasional.

Pornografi yang selama ini dikenal dan beredar dimasyarakat hanyalah dalam bentuk lukisan, buku, komik, majalah, film, VCD,DVD dan lain-lain. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi, internet juga dimanfaatkan sebagai media yang strategis untuk penyebaran pornografi atau dikenal dengan istilah cyberporn.

Sistem rumusan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana kesusilaan adalah berdasarkan kesalahan atau asas culpabilitas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Unsur kesalahan berupa kesengajaan/dolus dapat dilihat pada rumusan “diketahuinya isi tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan”. Sementara unsur kesalahan berupa kealpaan/culpa terlihat pada rumusan ”jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu me!anggar kesusilaan”.

Jenis sanksi pidana (strafsoort) dalam delik kesusilaan di KUHP terdiri dari pidana penjara, kurungan dan denda. Ketiga jenis sanksi tersebut diancamkan untuk kejahatan kesusilaan, sedangkan pelanggaran kesusilaan hanya diancam dengan pidana kurungan atau denda. Sementara untuk lamanya pidana (strafmaat) dirumuskan secara bervariasi. Lamanya ancaman pidana penjara dalam kejahatan kesusilaan antara 4 bulan sampai 12 tahun, sedangkan pidana dendanya antara Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) sampai Rp 75.000,00 (tujuh puluh lima ribu rupiah). Sedangkan untuk pelanggaran kesusilaan, pidana kurungannya antara 3 hari sampai 3 bulan dan pidana dendanya antara Rp 225,00 (dua ratus dua puluh lima rupiah) sampai Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

Secara eksplisit dalam KUHP tidak diatur pedoman pemidanaan. Namun KUHP yang merupakan warisan Belanda ini, menurut Sudarto memiliki pedoman pemidanaan, sebagaimana dinyatakan dalam Memorie van Toelichting dari W.v.S Belanda tahun 1886, yang isinya (terjemahannya) sebagai berikut :

Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, Hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan :

  1. keadaan objektif dan subjektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatannya;
  2. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu
  3. Kerugian apakah yang ditimbulkan?
  4. Bagaimana sepak terjang kehidupan penjahat dahulunya?
  5. Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak;
  6. Batas antara minimum dan maksimum harus ditetapkan seluasluasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah memadai.

Dalam kebijakan formulasi hukum pidana proses kriminalisasi memegang peranan penting, karena pada tahap inilah pembuat undangundang menentukan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Setiap perbuatan yang dikriminalisasikan harus mempertimbangkan banyak hal, seperti kepentingan hukum yang akan dilindungi, tingkat bahaya, kerugian,biaya, kesiapan dan penguasaan teknologi oleh aparat dan lain sebagainya.

Salah satu kelemahan KUHP dan Undang-undang khusus yang berlaku saat ini adalah tidak mengatur secara eksplisit atau khusus mengenai cyberporn. Oleh karena itu, Konsep KUHP 2005 mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang berkaitan dengan cyberporn, seperti membuat, menyebarkan, menyiarkan, memberi, menjual, membeli produk pornografi dan lain-lain.

Salah satu kelemahan KUHP dan Undang-undang khusus yang berlaku saat ini adalah tidak mengatur secara eksplisit atau khusus mengenai cyberporn. Oleh karena itu, Konsep KUHP 2005 mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang berkaitan dengan cyberporn, seperti membuat, menyebarkan, menyiarkan, memberi, menjual, membeli produk pornografi dan lain-lain.

Berkaitan dengan cyberporn,  dalam Konsep KUHP  juga merumuskan delik yang dapat digunakan untuk menjerat pelakunya, yaitu dalam Tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika dan Tindak Pidana Kesusilaan. Walaupun cyberporn merupakan bentuk kejahatan baru, namun pada dasarnya substansinya sama, yaitu pornografi. Perbedaannya hanya pada media yang digunakan, yaitu internet. Sebelum masuk dalam pembahasan delik pornografi, dikemukakan terlebih dahulu pengertian pornografi dalam Konsep KUHP 2005 Buku I Pasal 203, yaitu:

“substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika”.

Rumusan delik pornografi dalam Konsep KUHP 2005 di atas tidak menyebutkan secara tegas adanya unsur ”sifat melawan hukum’. Namun pada prinsipnya setiap delik haruslah dianggap bertentangan dengan hukum, meskipun unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan secara tegas. Ketentuan pidana ini sesuai dengan ide dasar yang dirumuskan dalam Pasal 11 ayat (3) Konsep KUHP 2005, bahwa setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Kemudian tidak dicantumkannya kata ’dengan sengaja’ secara tegas, berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan telah terlihat bahwa tindak pidana dilakukan berdasarkan unsur kesengajaan (dolus).

Kesimpulan yang dapat diambil adalah :

kesimpulan sebagai berikut :

  1. Kebijakan hukum pidana saat ini dalam upaya penanggulangan cyberporn diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), undang undang khusus serta juga konsep KUHP. Namun pada tahap aplikasi, beberapa kebijakan ini tidak dapat bekerja dengan maksimal karena mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan pada substansi pengaturannya, diantaranya adalah perumusan melanggarkesusilaan yang bersifat abstrak/multitafsir, jurisdiksi yang bersifat territorial, perumusan beberapa istilah dan pengertiannya yang tidak mencakup aktivitas cyberporn, perumusan tindak pidananya tidak secara eksplisit atau khusus mengatur cyberporn, sistem perumusan sanksi pidana yang tidak tepat dan jumlah sanksi pidana denda yang relatif kecil, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak jelas dan rinci, tidak diaturnya pedoman dan aturan pemidanaan, dan tidak adanya harmonisasi substansi tindak pidana dan kebijakan formulasi tindak pidana, baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional.
  2. Dalam upaya penanggulangan cyberporn pada dasarnya harus menggunakan yaitu sarana penal melalui kebijakan formulasi hukum pidana dan sarana non penal (mediasi penal).

Referensi :

  1. Lamintang 1990, Delik-Delik Khusus : Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan,Mandar Maju, Bandung.
  2. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
  3. Nawawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,Badan Penerbit UNDIP,Semarang.
  4. Yudhista, Doddy dan Tim MWCC, 2002, Teknologi Informasi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia,Habibie Center, Jakarta.
  5. Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang Komputer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  6. Wisnubroto, Alisius, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Komputer, Penerbit UniversitasAtmajaya, Yogyakarta.